Matahari Tokyo mulai tenggelam di balik gedung-gedung pencakar langit, memantulkan warna oranye keemasan yang sejenak memperindah kota itu.
Mira menatap pemandangan itu dari jendela kereta Shinjuku Line, tubuhnya terasa lelah setelah bekerja lebih dari delapan jam di hotel tempatnya menjadi staff hotel, “lelah sekali hari ini, rasanya pengen resign tapi cari kerjaan susah” ujarnya dalam hati. Di sampingnya, orang-orang sibuk dengan ponsel, wajah lelah dengan suasana hening meskipun kereta penuh sesak.

“Dulu, di bus kota Semarang, orang bisa ngobrol satu sama lain,” gumamnya dalam hati, senyum tipis mengingat kampung halaman. Sudah enam bulan sejak Mira meninggalkan Jawa Tengah untuk bekerja di Tokyo.
Di hari pertama bekerja, Mira kagum melihat keteraturan Tokyo. Kereta datang tepat waktu, jalanan bersih tanpa sampah, dan setiap orang berjalan cepat, seakan dikejar waktu. Tapi kekaguman itu cepat memudar, kedisplinan yang awalnya terasa indah, kini berubah menjadi tekanan.

Sedikit terlambat saja ke stasiun, Mira harus berhadapan dengan kereta penuh sesak, belum lagi pekerjaannya di hotel pun tak mudah. Pakaiannya harus selalu Rapi, tidak boleh ada yang berantakan.
Dalam sehari pula, mira harus membersihkan puluhan kamar tamu, standar kebersihan begitu tinggi, lipatan sprei harus sempurna, kamar mandi harus berkilau, dan setiap detail harus diperhatikan, belum lagi supervisornya yang selalu memeriksa hasil kerjanya dengan wajah dingin.
“Mira-san, lebih cepat lagi, ya?” kata supervisor berkali-kali. Meski diucapkan dengan sopan, kalimat itu terasa tajam.
Di kamar kos kecilnya, Mira duduk sambil memandang foto orang tuanya yang ia letakkan di meja. “Bagaimana bisa aku betah di sini?” bisiknya lirih, Ia rindu suara azan dari masjid dekat rumah, bau nasi goreng dari penjual keliling, dan obrolan santai tetangga di sore hari, do Tokyo, semuanya terasa asing, bahkan udara musim dingin ini menusuk hingga ke hatinya.
Namun, Mira tahu, ia tak bisa pulang, ada kontrak kerja tiga tahun yang harus ia selesaikan, setiap kali ia ingin menyerah, ia teringat mimpi keluarganya yang menggantung di pundaknya.
Suatu sore, saat hari libur, Mira duduk di bangku taman kecil Shinjuku, angin sore menyapa wajahnya, membawa aroma bunga sakura yang mulai bermekaran.

Ponselnya bergetar di tas, memecah lamunannya. Sebuah panggilan dari teman lamanya, Laila. Dengan ragu, Mira mengangkat telepon itu.
“Halo, Laila,” sapa Mira, berusaha menyembunyikan nada lelahnya.
“Mira! Wah, aku senang banget kamu angkat telepon. Gimana kabarnya? Aku dengar kamu kerja di Tokyo sekarang. Kamu hebat, ya! Bisa sampai ke sana” suara Laila penuh antusias.
Mira tersenyum tipis. “Ya, begitulah,” jawabnya singkat.
“Kamu pasti bangga, kan? Kerja di Tokyo, kota impian kita dulu. Kamu benar-benar mewujudkan mimpimu!”
Mira menghela napas. “Laila, tahu nggak?tapi aku merasa… ah entahlah.”
Hening sejenak di telepon. “Kok bisa?, Apakah kamu belum nyaman di Ibukota Jepang, Tokyo? ” tanya Laila mengebu gebu.
“Tokyo memang indah, tapi rasanya aku hampir stress tiap hari di sini. Kadang aku rindu suasana rumah, obrolan dengan tetangga, atau sekadar pergi ke sawah bersama teman teman.”
Laila terdiam. Setelah beberapa saat, ia berkata, “Mira, kamu memang jauh dari rumah, tapi aku yakin kamu kuat. Ingat nggak, dulu kamu selalu bilang, ‘Kalau aku bisa ke Tokyo, aku ingin membuktikan pada diriku sendiri kalau aku mampu.’ Kamu sudah melakukannya. Tapi jangan lupa, Mira, kamu juga manusia. Kalau lelah, nggak apa-apa istirahat sebentar.”
Mira tersenyum, kali ini lebih tulus. Kata-kata Laila menyentuh hatinya. Ia sadar, Tokyo adalah tempat impiannya dulu
“Terima kasih, Laila. Aku rasa aku butuh telepon ini,” kata Mira.
“Sama-sama. Kalau kamu butuh tempat cerita, ada aku kok,” jawab Laila.
Mira terdiam. Kalimat itu terasa menenangkan. Mungkin benar, Tokyo bukan kota yang ramah bagi pendatang seperti dirinya, tapi mungkin juga, ia hanya perlu belajar lebih kuat.
Malam itu, saat Mira berjalan pulang
ia bertanya pada dirinya sendiri, “Sudah Nyaman di Ibukota? “
“Belum,” jawabnya pelan. “Tapi aku akan bertahan. Untuk sekarang, itu sudah cukup.”
0 Komentar