
Pagi itu, Budi duduk di sudut rumahnya yang kecil, pandangannya terpaku pada baju seragam putih yang tergantung di dindingnya, ada sobekan besar di bagian belakang seragam itu, sisa hasil dari insiden kemarin, Ia ingat betul, saat itu ia terlambat datang ke sekolah karena harus membantu ibunya membersihkan rumah, Gerbang sekolah sudah ditutup, dan ia terpaksa memanjat pagar untuk masuk.
Musibah memang tidak pernah ada yang tahu, saat ia melompat dari pagar, punggung bajunya tersangkut kawat tajam. Sobekan pun terjadi pada bajunya, Ia menahan rasa malu sepanjang hari, terutama ketika beberapa teman sekelasnya melihat robekan itu dan mulai mengejeknya.
“Hei, Budi! Bajumu kenapa? Kok robek begitu sih, hahaha!” cemooh seorang teman diiringi tawa lainnya.
Budi hanya menunduk dan berusaha menutupi sobekannya dengan tas, tapi tetap saja, mereka terus mengolok-oloknya. Kata-kata mereka begitu tajam, membuat hatinya sesak, Kini, ia duduk termenung di rumah, bingung harus bagaimana, berangkat atau tidak.
“Kenapa belum siap-siap sekolah, Bud?” tanya Pak Darma, ayahnya, membuyarkan lamunannya, Ayahnya seorang tukang becak, baru saja selesai membersihkan becaknya, bersiap mengayuh untuk mencari rezeki.
Budi menunduk, memandangi bajunya. “Aku nggak mau sekolah, Yah,” jawabnya pelan.
“Kenapa, nak?” tanya ayahnya sambil mendekat, Ia memperhatikan raut wajah putranya yang murung, lalu matanya tertuju pada seragam itu, sobekan besar di bagian belakang bajunya langsung memberinya gambaran.
“Baju ini robek, Yah. Kemarin teman-teman ngejekin aku,” ujar Budi dengan suara serak, matanya hampir berkaca-kaca.
Pak Darma duduk di sebelah Budi, menghela napas panjang. “Ayah paham, nak. Kamu malu karena bajumu sobek, kan?”
“Iya yah.” Budi mengangguk. “Kita nggak punya uang buat jahit baju ini, aku nggak mau diejek lagi.”
Pak Darma memandangi anaknya dengan penuh kasih. “Dengar, Budi, ayah tahu ini berat buat kamu, tapi jangan sampai rasa malu membuatmu berhenti berjuang, kamu harus tetap sekolah, bukan buat mereka yang mengejekmu, tapi buat masa depanmu.”
“Tapi, Yah, teman-teman bilang aku ini miskin, mereka bilang aku nggak pantas sekolah,” balas Budi dengan suara yang hamper menangis
Pak Darma mengusap kepala Budi. “nak, mereka yang mengejek itu belum mengerti kehidupan, menjadi miskin itu bukan alasan untuk menyerah, justru karena itu kita harus lebih kuat, ayah juga sering diejek waktu pertama kali jadi tukang becak, tapi Ayah nggak peduli tuh, ayah kerja keras supaya kamu bisa terus sekolah.”
Budi terdiam, kata-kata ayahnya perlahan-lahan menyentuh hatinya.
“Kamu tahu, Budi, baju yang robek nggak akan merubah siapa kamu, yang penting adalah hati dan usaha kamu, kalau ada yang mengejek lagi, biarkan saja, orang yang baik tidak akan mengejek kekurangan orang lain,” lanjut Pak Darma dengan tegas.
Budi menatap ayahnya, rasanya sekarang percaya diri dia sudah Kembali dan ada rasa hangat yang mengalir di dadanya, walaupun bajunya masih robek, ia merasa ada kekuatan baru dalam dirinya.
“Kalau begitu, aku berangkat sekolah sekarang, Yah,” ujar Budi akhirnya.
Pak Darma tersenyum dan mengangguk, Ia tahu bahwa keberanian anaknya mulai tumbuh, dengan langkah mantap, Budi mengenakan bajunya dan membawa tas, sobekan di punggung baju itu masih jelas terlihat, tetapi ia tidak peduli lagi.
Sesampainya di sekolah, beberapa teman memang masih memperhatikan sobekan itu, namun, Budi sudah tidak perlu memperdulikan omongan mereka lagi, kini Ia tidak lagi merasa malu. Ia ingat apa yang ayahnya katakana, “ harga diri tidak ditentukan oleh pakaian, melainkan oleh sikap.”
Ketika Bel Pelajaran dimulai, beberapa teman mulai berbisik-bisik dan tertawa kecil, seorang guru, Bu Rini, mendekatinya. “Budi, bajumu kenapa, nak?” tanya Bu Rini dengan lembut.
Budi menjelaskan semuanya, ia juga menceritakan bagaimana ayahnya menyemangatinya untuk tetap pergi ke sekolah meski dengan baju yang robek, Bu Rini tersenyum dan berkata, “Kamu anak yang hebat, Budi, keberanianmu jauh lebih besar dari sobekan di bajumu.”
Sepulang sekolah, Ayah budi memberi uang Rp.100.000 pada Budi. “Budi ini ada sedikit Rezeki untukmu, Alhamdulillah Pelanggan bapak hari ini banyak, untuk beli baju baru”
“Aduh, Terimakasih banyak ya Pak.” Balas budi
Setelah itu Budi pun membeli baju baru, “wah bagus juga yaa baju baruku.” gumam Budi
Sejak hari itu, Budi belajar bahwa rasa malu tidak boleh menghalangi langkahnya, bajunya mungkin robek, tetapi semangatnya untuk belajar tidak akan pernah robek, ia tahu, suatu hari nanti, semua kerja keras dan keberaniannya akan membuahkan hasil yang manis.
Malam harinya, ia memamerkan baju barunya pada ayah dan ibunya, melihat hal itu ayahnya tersenyum, Budi merasa bangga memiliki ayah seperti Pak Darma, seorang pria sederhana yang telah mengajarkannya nilai keberanian dan harga diri yang sesungguhnya.
0 Komentar