
Sumber : Freepik.com
Hari itu, aula sekolah dipenuhi dengan suasana yang berbeda dari biasanya, acara perpisahan sekolah penuh haru dan penuh kenangan, wajah siswa tampak sedih, mata mereka berkaca-kaca saat mengenang perjalanan panjang yang sudah mereka lewati selama bertahun-tahun di sekolah itu.
Suara MC yang membawakan acara seolah tenggelam di tengah gemuruh perasaan yang memenuhi udara, Stella duduk di bangku belakang, berusaha fokus pada acara festival music yang dibawakan band sekolahnya, tetapi hatinya terasa berat.
Matanya tak bisa lepas dari Dimas yang duduk di depan, setiap kali pandangan mereka bertemu, Stella merasa seolah ada sesuatu yang tak terungkapkan di antara mereka, dia tahu, ini mungkin terakhir kalinya dia bisa melihat dimas sebelum mereka berdua melangkah ke dunia yang berbeda, setelah ini, hidup mereka akan berubah selamanya.
Stella sudah lama menyimpan perasaan terhadap Dimas, sejak kelas sepuluh, saat mereka pertama kali berjumpa di kantin sekolah, senyum Dimas selalu menjadi sumber kekuatan baginya, senyum itu seperti obat untuk hari-hari sulit yang dia alami, meski Dimas tidak pernah mengungkapkan perasaannya secara langsung, Stella merasa ada sesuatu yang istimewa, meskipun Dimas selalu menjaga jarak.
Setiap kali dia mencoba mendekat, Dimas selalu menghindar, tak jarang, Stella merasa seperti orang asing di hadapan Dimas, meskipun mereka sering berpapasan di lorong sekolah. “Mungkin aku bukan orang yang pantas untuknya,” pikir Stella, mencoba meyakinkan dirinya sendiri, walau hatinya bergetar setiap kali melihat Dimas, dia tahu bahwa perasaan itu tidak akan pernah terbalas.
Acara perpisahan pun selesai, semua orang mulai beranjak meninggalkan aula, namun Stella merasa seperti ada sesuatu yang belum selesai, dia berlari cepat menuju kelas mereka dengan langkah gemetar. Di dalam kelas yang sudah sepi, dia berhenti sejenak dan melihat meja Dimas yang terletak di pojok dekat jendela, tanpa berpikir panjang, Stella mengeluarkan sebuah amplop dari tasnya dan dengan hati yang berdebar, dia menyelipkan surat itu ke dalam laci meja Dimas, itu adalah keberanian terakhirnya, sebuah pengakuan perasaan yang sudah lama terpendam, sekaligus sebuah salam perpisahan untuk orang yang telah menjadi bagian dari hidupnya selama ini.
Untuk Dimas,
Aku tahu kamu selalu menghindar dariku, mungkin kamu tidak pernah ingin tahu perasaanku, tapi hari ini aku harus mengatakannya, aku menyukaimu, sejak lama.
Namun, aku tidak ingin memaksakan perasaan ini, aku hanya ingin kamu tahu, dan aku harap kamu tetap bahagia di mana pun kamu berada.
Besok aku akan pergi, melanjutkan kuliah di luar pulau, aku hanya ingin mengucapkan terima kasih karena, meski tak pernah sadar, kamu adalah alasan aku bertahan melewati hari-hari sulit di sekolah ini.
Selamat tinggal, Dimas, semoga kita bertemu lagi suatu hari nanti.
Stella
Dimas duduk di kelas yang kosong, terdiam memandangi surat yang ada di tangannya, hatinya berdebar kencang saat membaca setiap kata yang tertulis di atas kertas itu, dia tidak pernah membenci Stella, malah sebaliknya, dia selalu merasa bahwa Stella adalah orang yang terlalu baik untuknya, dimas merasa tidak layak untuk mendapatkan perhatian dari gadis sebaik Stella. Itulah alasan mengapa dia selalu menjaga jarak, dia takut, jika mereka terlalu dekat, maka ada kemungkinan dia akan merusak sesuatu yang indah.
Namun kini, setelah membaca surat itu, dimas merasa seolah-olah dunia di sekelilingnya berhenti berputar, stella akan pergi, dan dia tidak bisa membiarkan kesempatan itu berlalu begitu saja, tanpa berpikir panjang, dia berlari keluar dari kelas dan segera mencoba menghubungi Stella, ponselnya berdering tanpa henti, namun tidak ada jawaban. Teman-temannya memberitahunya bahwa Stella mungkin sedang berada di Pantai, tempat yang selalu menjadi favoritnya untuk menikmati senja.
Dimas tidak menunggu lagi, dia segera berlari keluar dari sekolah dan mengambil sepedanya, nafasnya terengah-engah saat dia mengayuh secepat mungkin, melawan angin sore yang bertiup kencang, dia harus menemukannya, dia harus mengatakannya sebelum terlambat.
Setibanya di pantai, dimas melihat matahari sudah mulai terbenam, langit berwarna jingga yang hangat, mewarnai cakrawala dengan cahaya yang lembut, dari kejauhan, dia melihat sosok Stella duduk di atas batu besar seorang diri, memandang laut yang tenang, tanpa ragu, Dimas berlari menghampirinya.
“Stella!” teriak Dimas dengan suara yang pecah di antara deburan ombak, stella menoleh, terkejut melihat Dimas yang berdiri di sana, wajahnya basah oleh keringat dan napasnya yang terengah-engah.
“Kenapa kamu di sini?” tanya Stella, mencoba menutupi rasa terkejutnya.
Dimas berjalan mendekat dan berdiri tepat di depan Stella, dia terdiam sejenak, mengatur napas, kemudian berkata, “Aku bodoh karena selalu menghindar, aku tahu kamu suka aku, dan… aku juga suka kamu, tapi aku takut aku tidak bisa menjadi seseorang yang kamu inginkan.”
Stella terkejut, tidak tahu harus berkata apa. “Kenapa kamu tidak pernah bilang?” tanyanya dengan suara agak marah, namun suara itu hampir tenggelam dalam suara ombak.
Dimas tersenyum kecil, “Karena aku pengecut, tapi aku tidak ingin menyesal lagi, aku tahu kamu akan pergi, dan aku tahu ini sudah terlambat, tapi aku ingin kamu tahu, aku juga menyukaimu.”
Mata Stella berkaca-kaca. “Aku tidak tahu harus berkata apa,” jawabnya dengan suara hampir bergetar.
“Jangan berkata apa-apa,” jawab Dimas sambil duduk di samping Stella, mereka berdua duduk dalam keheningan, hanya ditemani suara ombak yang memecah hangatnya pantai.
Matahari perlahan menghilang di balik cakrawala, meninggalkan langit yang gelap dan dipenuhi bintang-bintang, meskipun waktu pertemuan mereka sangat singkat, senja itu menjadi kenangan yang akan mereka simpan selamanya, sebuah cinta yang akhirnya terucap di tepi laut, sebelum perpisahan datang.
0 Komentar