
Sesuatu semangat, motivasi diri, serta dorongan memang datang dari mana saja. Hari itu, ketika sedang hujan deras, dengan malasnya aku harus bangun pagi. Asik-asiknya rebahan, hujan dengan angin yang lebat memaksaku untuk segera bergegas. Saat itu ada jadwal untuk mengurus pasporku, dan aku pun sudah membuat temu janji untuk membuat paspor. Jika aku cancel, pasti membutuhkan waktu yang lama, dan belum tentu cuaca bersahabat pula. Lagi musim hujan seperti ini.
Mau tidak mau aku harus berangkat. Okeey, dari rumah mulai jam delapan kurang berangkat, padahal niatnya jam tujuh sudah cuss (maklum efek mager hujan di pagi hari). Sesampai di stasiun kereta, menunjukkan sudah jam 08 pagi (yaiyalah orang berangkat aja jam delapan kurang). Jadwal temuku jam sembilan pagi. Bingung, Rencana awal naik kereta lanjut gojek agar lebih murah, hehehe, Namun, apa daya, rencana terkadang tak sejalan dengan kenyataan.
Karena terlalu mepet, mau tidak mau pesan gojek langsung dari stasiun kereta.
“Kenapa sih harus hujan, hujan lagi hujan lagi, mana deras pula,” keluhku. Oke, lanjut deh. Saat sampai stasiun, banyak abang-abang pakai jaket gojek. Awalnya, aku mau pesan Go Instant dong, terus menghampiri abang-abang di depan stasiun. Eh, malah abang-abangnya pada nolak. Bilangnya, di situ tuh, dekat toko merah, pakai Go Instant bisanya.
“Yee, aneh. Kirain yang pada pakai jaket gojek bisa, malah pada nolak rezeki. Sepertinya ojek pangkalan kali ya? Tapi pakai jaket gojek. Jika gitu, kenapa nggak coba nawarin gue dibanding pakai aplikasi gojek?” wkwkwk.
Masuk ke Go Ride Instant, waduh, harga lumayan mahal, 50 ribuan nih. Ternyata ada 4 orang juga yang mengantri. Lama juga ya. Jarum jam mepet, menunjukkan jam delapan lebih dua puluh menit, dan antrian jam sembilan. Khawatir bisa masuk nggak ya buat bikin paspor (first time banget buat paspor). Terus habis itu, dapetlah bapak-bapak.
Walau hujan mulai agak reda, namun hujan masih turun rintik-rintik. Bapak-bapak ini sama sekali nggak nawarin aku mantel. Hmm, mentang-mentang di tangan aku ada payung. Tapi motor bapak ini lumayan gede. Lumayan lah ada plusnya, bisa duduk dengan nyaman. Akhirnya aku pun duduk di belakang bapak itu.
Lanjut di perjalanan, tiba-tiba bapak ini ngoceh. Aku yang lagi bad mood karena sedikit basah dan pengen segera sampai, mau nggak mau ladenin sewajarnya. Tiba-tiba dia nyaut, “Masnya mau main tebak-tebakan nggak? Kalau nggak mau nggak papa, nggak maksa kok.”
Karena aku penasaran, aku iyain aja bapaknya. “Iya pak, apa pak?”
Jadi, aku ada tebak-tebakan nih. Masnya tahu duit, mas? Semua orang butuh duit, mas. Tapi tahu nggak, duit itu punya singkatannya? Duit artinya apa, mas?
Aku jawab aja, “uang Pak.”
“Nggak, mas, salah. Duit itu ada istilah lainnya. Nih kayak D itu tuh Doa. Terus U? U-nya apa, mas? Bisa jawab nggak?”
Aku mencoba jawab. Aku jawab, “Usaha.”
“Benar.” Lanjutnya, “I, I-nya apa, mas?”
Aku terdiam lama. Mungkin bapaknya tahu aku bad mood. Bapak itu sembari minta maaf dan berkata, “Bahwa tidak apa-apa jika tidak mau melanjutkan. Saya cuma ingin berpikir aja, karena dengan berpikir otak kita bisa lebih maju ke depan. Otak kita nggak bakalan malas.”
Aku sedang berpikir, pak. Aku jawab, “Iman? Ilham? Insan?”
Bapak itu berkata, “Salah, mas. I itu Ikhtiar. Jadi, kalau kita udah doa, usaha, tentu harus ikhtiar. Terus T, T-nya apa, mas?”
“Tenang, pak?”
“Bukan, mas. Tawakal,” ujarnya.
“Dan mas tahu, kita udah punya duit nih. Terus butuh apalagi?”
“Butuh apa ya, pak?”
“Sejuta, mas. Sejuta? Tahu singkatannya?”
“Enggak, pak.” Aku menggeleng.
“Sejuta: Setia, Jujur, dan Takwa,” ujarnya sambil tertawa kekeh dan menjelaskan tentang Duit Sejuta.
Waktu terus berjalan. Karena aku sedang nggak ada masalah dan aku pikir bapak ini orangnya bisa memberi saran, cobalah aku curhat ke bapak itu.
“Pak, aku merasa dunia tidak adil. Aku merasa dizalimi.” Kemudian aku cerita bahwa aku ada orang kaya yang semakin kaya, dan orang miskin semakin miskin.
Bapak itu mendengarkan sambil bersimpati. Kemudian dia berkata, “Masnya coba berdoa. Berdoa ini, mas, dijamin manjur! Doa orang-orang yang dizalimi.”
“Allahumma inni a’udzu bika min dzulmi wa dzulma ibadika, Hasbiyallahu laa ilaaha illa huwa, ‘alaihi tawakkaltu wa huwa rabbul ‘arsyil ‘azhiim.”
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kezaliman dan dari melakukan kezaliman terhadap hamba-hamba-Mu, Cukuplah Allah bagiku, tidak ada Tuhan selain Dia. Kepada-Nya aku bertawakal, dan Dia adalah Tuhan pemilik ‘Arsy yang agung.”
Setelah itu dia memberiku kata-kata semangat. Perjalanan hampir selesai. Dia menutup cerita tersebut dengan surah Ar Rahman, “Fabiayyi alaa irabbikuma tukadziban,” bahwa berapa banyak nikmat yang telah Tuhan beri dan kita dustakan.
Mungkin bukan rezeki berupa uang yang dia beri, tapi rezeki lain yang nggak kamu tahu. Jadi, mengapa kamu tidak bersyukur? Nikmatmu sudah lebih banyak. Bisa duduk di gojek ini juga sebuah nikmat, ujarnya. Bangun pagi, pergi bekerja, bisa shalat tepat waktu juga nikmat dari Allah SWT.
Sampai di kantor imigrasi, bapak itu berkata padaku, “Jangan lelah untuk bersyukur ya, mas. Insyaallah akan ada ganti yang lebih baik dari ini semua.”
Mataku sebenarnya sudah berkaca-kaca. Aku ingat ketika aku tidak mendapatkan keadilan. Tapi Allah Maha Adil dari segalanya. Dorongan dari bapak itu semakin menguatkanku. Mungkin jika tidak terjadi hujan deras, aku nggak pakai gojek itu. Qodarullah, Allah SWT menguatkanku melalui bapak itu. Cerita yang inspiratif dan mengajarkan artinya bersyukur. Di tengah hujan metropolitan, aku sadar pertolongan Allah SWT akan selalu ada.
0 Komentar